Larangan polwan memakai jilbab; cermin kegagalan kapitalisme
Samir Musa
Rabu, 4 Sya'ban 1434 H / 12 Juni 2013 19:34
Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Berkembangnya
isu pelarangan Polisi Wanita (Polwan) untuk memakai jilbab mengundang
reaksi keras dari berbagai kalangan. Cukup banyak anggota korps polisi
wanita (polwan) yang ingin berseragam dengan memakai kerudung.
Sayangnya, keinginan itu terbentur peraturan institusinya yang mengatur
tentang penggunakan seragam polwan berkerudung/busana muslimah di luar
Polda Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Di Aceh, polwan diperbolehkan
memakai kerudung karena daerah tersebut memiliki aturan tersendiri
mengenai otonomi. Namun, di daerah lain belum ada aturan seperti itu.
Siti Noor Laila Ketua Komnas HAM menjelaskan pelarangan penggunaan
jilbab bagi polisi wanita (polwan) muslim bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM). Lantaran setiap orang berhak menggunakan hal-hal yang
berkaitan dengan agamanya masing-masing. “Penggunaan jilbab itu
berkaitan dengan keyakinan yang dianut oleh sebuah agama. Jika
penggunaan jilbab terhadap polwan dilarang, maka itu sudah melanggar HAM
karena berkaitan dengan keyakinan,” (
Republika.co.id, Sabtu 8/6 ).
Wacana keinginan para Polwan yang ingin memakai kerudung ditanggapi
positif oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI berjanji untuk
memperjuangkan keinginan para polisi wanita (polwan) yang ingin
mengenakan jilbab.
Kewajiban Muslimah
Ketika kita berbincang tentang para perempuan yang memeluk agama
Islam, bagaimana keadaan mereka saat ini? Kehidupan mereka penuh dengan
budaya-budaya non Islami yang semakin mendekatkan diri mereka pada
kebiasaan kufur. Ironis memang, perempuan- perempuan yang mengaku Islam
malah lebih bangga menggunakan busana ala selebritis dengan pakaian
tanktop dan celana pendeknya. Mereka merasa sexy dan mengagumkan dengan
pakaian tersebut, lebih tepatnya pakaian “kurang bahan”. Astagfirullah..
Allah telah memberikan batasan yang jelas tentang aurat perempuan
yaitu seluruh badan perempuan kecuali muka dan telapak tangan. Sehingga
leher perempuan adalah aurat, rambutnya sekalipun sehelai saja juga
termasuk aurat. Kepala perempuan dari sisi manapun adalah aurat. Maka
semua hal selain wajah dan telapak tangan adalah aurat yang wajib
ditutupi. Dalilnya adalah firman Allah
Subhanahu Wa Ta’aala surat Al-Ahzab : 59 dan surat Annur: 31.
Al-Qur’an surat An-Nur kepala ayat 31: Wahai Muhammad perintahkanlah
kepada perempuan-perempuan yang beriman, agar menjaga pandangan mata
mereka ketika berhadapan dengan laki-laki bukan mahramnya, dan menjaga
kemaluan mereka dari zina. Janganlah mereka menampakkan bagian leher dan
dada mereka. Yang boleh tampak hanyalah wajah dan telapak tangan
mereka. Kepala dan dada mereka hendaklah ditutup dengan kerudung lebar.
Janganlah mereka menampakkan kepala, leher, dada, dan tangan mereka
kecuali kepada suami, ayah, mertua, anak laki-laki kandung atau tiri,
saudara laki-laki, keponakan laki-laki dari saudara laki-laki atau
perempuan mereka atau sesama perempuan muslim atau budak laki-laki
mereka, atau laki-laki pembantu rumah tangga mereka yang tidak punya
birahi atau anak-anak yang belum mengenal aurat perempuan. Janganlah
perempuan itu membunyikan gelang kaki mereka agar orang lain
mengetahui perhiasan yang tersembunyi pada kaki-kaki mereka. Wahai
orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertaubat kepada Allah supaya
kalian mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dari sini jelas bahwa menutup aurat bagi muslimah adalah wajib,
sekaligus bagian dari kesempurnaan iman. Sebagaimana perintah Allah
Subhanahu Wa Ta’aala untuk
masuk Islam secara kaffah. Artinya, iman akan berkonsekuensi untuk
melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kewajiban mengenakan Jilbab yang dapat menutup seluruh tubuh kecuali
muka dan telapak tangan adalah hukum syara’. Bagaimana seharusnya
seorang muslimah mentaati Syari’at Allah dengan mengenakan jilbab ketika
berada dalam kehidupan umum (di luar rumah).
Pembenaran yang menggelikan
Walaupun para muslimah mengetahui bahwa mengenakan jilbab adalah
kewajiban, tetapi kenapa masih banyak juga perempuan yang mengaku Islam
tapi lebih memilih berpakaian dengan kiblat barat? Padahal aturan dari
Allah
Subhanahu Wa Ta’aala ini untuk menjaga, melindung dan
memuliakan perempuan, bukannya mengkungkung perempuan seperti yang
difitnahkan oleh bangsa barat.
Di satu sisi negeri ini mengkampanyekan kebebasan beragama, namun
melarang perempuan muslimah untuk menjalankan kewajiban agama yang
diyakininya. Perempuan-perempuan semi telanjang yang mengumbar aurat
mereka dibiarkan dengan alasan kebebasan. Namun, wanita-wanita Muslimah
yang menutup aurat mereka sebagai cerminan ketaatan kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’aala justru dipertanyakan dan dipermasalahkan.
Tudingan-tudingan untuk membenarkan larangan jilbab ini pun tidak
kalah lucunya. Mereka mengatakan jilbab merupakan simbol belenggu
terhadap kebebasan wanita. Padahal wanita Muslimah yang memakai jilbab
sendiri tidak pernah merasa bahwa jilbab yang dikenakannya adalah
belenggu mereka, karena mereka menjalankannya dengan ikhlas sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’aala.
Argumentasi bahwa pelarangan menutup aurat bagi Polwan atas alasan
aturan seragam dinas, jelas bertentangan dengan hukum syara’. Di samping
itu, paham kedaerahan dan kesukuan seolah menguatkan dalih pembolehan
menggunakan seragam dinas dengan berkerudung hanya di daerah tertentu.
Pembolehan menutup aurat bagi Polwan di Aceh bukanlah dalih pembenaran
untuk hanya mengizinkan mereka saja yang menutup aurat, sementara Polwan
muslimah di daerah lain dilarang. Aturan demikian jelas bernafaskan
pluralisme, yang di dalamnya menyamaratakan tiap agama.
Kapitalisme-Liberalisme Gagal!
Makin nyata, demokrasi makin mengotak-ngotakkan kaum muslimin. Jati
diri muslim makin terkikis atas alasan solidaritas suku dan asal daerah.
Padahal, mereka seorang muslim yang terikat dengan Hukum Syara’.
Bagaimana bisa aturan Islam jadi berbeda-beda untuk daerah yang berbeda
seperti ini? Sungguh tidak masuk akal.
Kapitalisme tentu telah menutup pintu dialog tentang masalah ini.
Argumentasi yang menggunakan nalar kekuasaan negara bukan nalar
intelektual dan kemanusiaan. Ini sekaligus mencerminkan kegagalan
ideologi Kapitalisme untuk memenangkan secara intelektual perdebatan
ini. Nalar kekuasaan selalu berujung pada larangan.
Larangan atas jilbab bagi polwan hanyalah tindakan putus asa berkedok
kebijakan/aturan yang gagal mencoba untuk membendung bertambahnya
perempuan Muslim yang menolak liberalisme Barat dan mengadopsi Islam
sebagai jalan spiritual, sosial dan jalan politik dalam hidup. Larangan
ini merupakan penindasan sistem sekular untuk memaksa perempuan Muslim
meninggalkan nilai-nilai Islam mereka dan mengambil nilai-nilai Barat.
Inilah negeri kita. Negeri yang memakai sistem kufur buatan manusia,
yang telah membuat kita jauh dari agama yang shahih. Jauh dari fitrah
kita untuk beribadah kepada Allah. Jika saja negara kita
menerapkan syariat Islam pastilah semua umat muslim di negeri ini baik
perempuan maupun laki-laki akan menjadi insan yang taat dan patuh
terhadap hukum-hukum Allah
Subhanahu Wa Ta’aala.
Demokrasi sebagai sistem kehidupan kufur yang saat ini masih bisa
pongah, memang takkan pernah sedikitpun memberikan ruang bagi kaum
muslimin untuk melaksanakan aturan Islam secara kaffah. Menutup aurat
secara sempurna adalah KEWAJIBAN, bukan HAK. Konsekuensi tidak
terlaksananya sebuah kewajiban adalah dosa. Karena pembuat aturan
menutup aurat bukan atasan, melainkan Allah
Subhanahu Wa Ta’aala,
Sang Khaliq. Dan karena menutup aurat adalah kewajiban individu
muslimah, maka dalih dosa kolektif yang ditanggung oleh pembuat
kebijakan tidaklah bisa menjadi argumentasi. Itu jelas argumentasi
bathil.
Wallahu A’lam Bis-Shawaab.
(samirmusa/
arrahmah.com)